Selasa, 11 Desember 2007

Nasgitel

Di satu waktu, kebetulan saya diajak teman untuk minum kopi di salah satu angkringan kota Yogyakarta, ditengah remang - remang warung angkringan kami menghabiskan waktu sambil meminum kopi nasgitel (panas, legi tor kentel) jika dalam bahasa Indonesia artinya panas, manis dan kental, begitulah orang Jogja mendefinisikan rasa kopi yang mantap.

Dalam Angkringan yang bercahayakan lampu remang - remang bervoltase 5 watt, sepertinya kedua mata saya yang makin redup - remang untuk menjaganya harus dibantu dengan ramuan kopi nasgitel. Teman saya sibuk me-request lagu kepada pengamen jalanan, sedangkan saya mengambil gorengan dan nasi kucing

Kemudian mengalirlah beberapa lagu Campur Sari ciptaan Didi Kempot, dari pengamen yang di request teman saya. Maka lengkap sudah suasana malam tersebut untuk dimulai suatu obrolan hangat, mulai dari obrolan pusingnya membayar biaya kuliah yang melambung tinggi sampai nilai indek prestasi (IP) yang selalu NASAKOM alias nilai satu koma.

Seiring malam yang kian sunyi, semakin pula ngelanturnya obrolan kami, kita mulai nge-gosip kebijakan pemerintah mengenai pengentasan masalah kemiskinan, dimana jumlah kaum miskin di Indonesia semakin lama meningkat, tanpa ada solusi yang bisa menghentikan melonjaknya angka kaum miskin tersebut.

Ditengah asiknya membicarakan bagaimana memberantas angka kemiskinan tersebut, cara konvensional seperti pemberian kredit lunak untuk orang miskin dan perluasan lapangan pekerjaan yang selama ini belum pernah membuahkan hasil, entah pemerintah yang kurang serius menjalankannya atau malah tidak pernah dijalankan. Teman saya berkata “Seharusnya kaum miskin di seluruh Indonesia ini dikumpulkan di satu tempat lalu, lalu di ‘Bom’ maka selesailah masalah angka kemiskinan yang melambung tinggi di Indonesia.

Kemudian saya bertanya kenapa hal tersebut dilakukan ?, sambil menyantap “tempe” teman saya mengatakan “coba kamu pikir bagaimana memperbaiki keadaan negara yang sudah carut-marut dan cacat luar dalam seperti negeri kita ini. Ide kebijakan ekonomi yang terbaik untuk menentaskan kemiskinan di negeri ini akan kandas ditengah jalan, karena rusaknya tatanan politik, ekonomi, budaya dan birokrasi yang akut, kalau kita berbicara bagaimana mengentaskan banyaknya kaum miskin di Indonesia yang hampir menacapai empat puluh persen penduduk indonesia, bagaimanalagi caranya”.

Secara tidak sadar saya melamun dan terbayang, Sejarah gelap manusia, ‘ide gila’ tersebut pernah diakomodir menjadi kebijakan negara dimana ide menganggap manusia yang tidak berguna bagi negara harus dimusnahkan. Hal ini pernah digulirkan oleh rezim Nazi Jerman pimpinan Adolf Hitler. Tak lama setelah Hitler meraih kekuasaan, ia menerapkan kebijakan Eugenics yang berarti “perbaikan” ras manusia dengan membuang orang-orang yang tidak produktif, berpenyakit atau cacat, dan memperbanyak jumlah individu sehat, dimana manusia yang tidak produktif (Tua, Sakit dan Lemah), harus dihabiskan dengan cepat, dengan pembunuhan masal

Entah kenapa saya teringat berita pengusuran kaum miskin yang dilakukan secara paksa oleh aparat keamanan dan ketertiban, dengan mengunakan buldozer beserta alat pemukul, bahkan banyak aparat bersenjata lengkap, dalam siaran televisi tersebut terlihat seorang ibu yang meradang, meraung-raung karena rumah dan kiosnya digusur dan ada anak muda yang dipukuli dan digelandang dengan cara diseret oleh aparat.

Orang miskin dan anak-anak terlantar di negeri ini dianggap sebagai beban dan masalah negara yang jarang sekali mendapatkan perlindungan, bagi para aparatur mereka dianggap sampah masyarakat yang tidak berhak mendapatkan perlindungan hukum beserta hak - hak untuk, mencari nafkah dan mendapatkan tempat tinggal.

Bukankah kerangka berfikir yang demikian sama halnya dengan pemikiran eugenics yang dipopulerkan oleh rezim Adolf Hitler di Jerman, dimana orang-orang yang tidak produktif, cacat dan dianggap tidak berkemampuan tidak layak berada dalam negara dan harus segara dimusnahkan.

Hingga pada suatu waktu kami bertemu lagi ditempat yang sama. Masih diiringi lagu campur sari ciptaan Didi Kempot, sambil “mensruput” kopi saya menanyakan apakah kelak saat negeri ini masih dalam keadaan carut-marut dan angka kemiskinan melambung tinggi kamu masih berpikiran pemerintah harus mengumpulkan orang-orang miskin disuatu tempat dan “membom” mereka hingga habis?.

Kemudian teman saya menjawab “kamu gila! mana mungkin aku masih berpikiran begitu”. Kenapa kamu berubah pikiran? tanya saya. Dia sambil cengar-cengir menjawab dengan santai “Iya jika hal tersebut terjadi, bagaimana bila pada saat itu kita berdua bernasib sial dan jatuh miskin”. Sambil tersenyum simpul saya menyeruput kopi “Sunguh-sunguh nasgitel”.



Oleh : Yansen (PU LPM Keadilan)

Jumat, 30 November 2007

Hukum Itu Harus Diskriminatif



Mereka yang dimiskinkan secara struktur tidak akan pernah bisa mengakses keadilan walaupun itu sudah tertulis dalam konstitusi bahwa semua orang sama di depan hukum.

Ide dan asas hukum everybody is equal before the law acap terbukti bahwa dalam realitasnya tidak selalu bisa terwujud fakta kehidupan menunjukkan secara nyata betapa masyarakat ini telah berjalan tanpa mendasarkan diri pada asas kesetaraan, bahkan beberapa pengamat dan teoretisi mengetengahkan teori bahwa kesenjangan itulah yang justru sociological speaking functional.

Menurut Soetandoyo Wignjosoebroto dalam buku yang berjudul Bantuan Hukum Akses Masyarakt Marjinal Terhadap Keadilan mengatakan “Masyarakat itu taklebih dari pada satu struktur, atau banguna organisasi kehidupan sosial , yang tersiri dari satuan-sataun kerja, yang masing-masing disebut peran dan satuan kerja yang saling berhubungan Tidaklah akan dapat kita jumpai adanya kehidupan bermasyarakat yang dapat eksis tanpa adanya pembagian kerja yang disebut pembagian peran, dimana setiap peran merupakan sejumlah aktifitas kerja yang telah didiskripsikan secara spesifik, terspesialisasi, dan berdampak pada keragaman aktifitas kerja sehingga ini berbalas pula pada keragaman apresiasi dan imbalan yang diberikan kepada pelaksana alias pemeranya itu, ada aktifitas kerja yang dimuliakan dan mendatangkan rasa bangga pada sang pemerannya Ada pula aktifitas kerja yang sekalipun menurut substansi moralnya tak sekali-kali tercela akan tetapi dipandang rendah dan tak sedikitpun dapat mendatangkan rasa bangga dan apresiasi bagi sang pemeran yang menjadi pelaksananya, peran-peran yang di apresiasi tinggi dan yang mendapat imbalan tinggi akan ditempatkan oleh khalayak pada jenang atas, sementara itu peran-peran kerja yang mendapatkan apresiasi dan Imbalan yang rendah akan ditepatkan pada jenjang di bawah pada struktur sosial Tak pelak lagi, kelas-kelas yang pada awalnya hanya hendak menggambarkan adanya perbedaan jenis kerja kini karena adanya imbalan kehormatan yang melekat pada setatus kelas, kemudian akan sanygat berpengaruh pada terjadinya pola aperlakuan yang diskriminatif yang bersetatus tinggi yang dalam kehidupan sehari-hari sering disebut VIP (Very Important Person) akan cenderung memperoleh perlakuan yang istimewa, sedangkan mereka yang bersetatus rendah akan cenderung dimarjinalkan, tak terlepas perlakuan untuk mendapatkan akses hukum dan keadilan” Struktur sosial inilah yang menjadi dasar`dari terbentuknya Kemiskinan Struktural Secara teoritis, paham kemiskinan struktural dapat dipahami dan disimpulkan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam memepertahankan seluruh hak-hak dasarnya sehingga orang tersebut tidak dapat mengembangkan hidupnya secara bermartabat.

Pada konteks Indonesia, kemiskinan struktural ini selain ditengarai oleh kebijakan yang tidak bijak dari para pemegang kebijakan, juga ditopang oleh kondisi struktur atau tatanan kehidupan bernegara yang tidak menguntungkan. Dikatakan tidak menguntungkan karena kehidupan bernegara di Indonesia tidak hanya melahirkan kemiskinan tetapi juga melanggengkan kemiskinan.
Untuk itu Imam Prasojo Sosiolog yang mengajar di Universitas Indonesi, saat di temui reporter keadilan di kediamannya yang beralamat dijalan proklamasi jakarta pusat, dimana rumah tersebut juga berfungsi sebagai kantor Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Nurani Dunia mengatakan “Kemiskinan Struktural tersebut terjadi karena tertutupnya akses seseorang terhadap aset-aset atau alat-alat produksi yang di miliki oleh beberapa orang tertentu, misal dikalangan petani dimana tanah itu terbatas dan dijadikan alat untuk memproduksi pertanian, kemudian tanah tersebut dikuasai oleh kelangan tertentu atau orang yang meiliki modal.

Kecendrungannya meraka yang menguasai tanah dan meiliki modal makin melebarkan sayap penguasaan tanah nya, petani-petani yang miskin untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seringkali terpaksa dan menjual tanahnya, saat tanah itu dijual untuk makan, tanah tersebut dikuasai oleh oarang-orang tertentu.
Yang kedua misalnya pedagang-pedagang kaki lima dia tidak mempunyai alat untuk melindungi mereka dari penggusuran, beda dengan pedagang yang ada di ‘Mall’ atau pedagang-pedagang yang ada di sektor formal yang telah mapan, dimana tempat berdagang mereka sudah sedemikian rupa di lindungi, sehingga mempunyai kepsatian usaha, Sedangkan pasar-pasar tradisional yang ingin masuk kesektor formal, seringkali terhambat oleh sebuah kolaborasi, bisa saja itu kolaborasi itu pertemanan atau orang-orang tertentu yang menguasai sitim, dimana orang-orang yang tidak meguasai sitim, tidak mengetahui dan tidak memiliki jaringan akan semakin jauh untuk mendapatka akses kepastian usaha.

Mal-mal dan pasar swalayan dibangun di mana-mana yang dimiliki oleh oarang-orang tertentu tersebut kecendrungannya adalah orang yang menguasai di tempat lain, sementara orang yang ada di pasar tradisional untuk mendapatkan berita atau informasi dimana biasa di dapatkan oleh sektor usaha formal (Mal,Swalayan, Grosir Moderen), sangat sulit mereka dapatkan, apalagi kebijakan pemerintah yang tidak mengakomodir kepentingan pasar tradisional tersebut karena sering dianggap kotor, jorok dan sebagainya. Pasar-pasar tradisional jarang mendapatkan kucuran dana kredit dari pemerintah sedangkan mall mendapatkan ratusan milyar kredit dari pemerintah, hal tersebut mencerminkan suatu kemiskinan yang diakibatkan suatu sistim”.


Hal senada di ngkapkan Oleh Hermawanto Aktifis Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dia mengungkapkan bahwa “ bahwa kemiskinan struktural tersebut dapat saya contohkan seperti ini nelayan yang kerja keras dan giat dalam pekerjaannya, laut kita juga makmur mereka mendapat ikan yang sangat banyak tetapi pertanyaaannya mengapa mereka tetap miskin, tenyata ada suatuhal yaitu karena mereka tidak mampu, dan tidak punya wewenang untik menentukan harga ikan, artinya merka miskin bukan karena mereka malas tetapi karena sistemlah yang menyebabkan mereka miskin, misal orang miskin tidak bisa sekolah hal tersebut dikarenakan mahalnya pendidikan, jadi ketika para orang miskin tersebut bodoh, bukan karena mereka malas sekolah tetapi katrena mereka tidak mampu masuk ke jenjang pendidikan, kerena mahalnya pendidikan”
Imam Prasojo Menambahkan “Yang namanya kemiskinan tidak hanya tidak hanya sekedar akses materi, akses materi tersebut adalah rentetan permasalahan pelayanan negara yang tidak memihak kepada meraka dan mengakibatkan mereka miskin dalam banyak hal, perjuangan kaum miskin adalah memperjuangkan hak mereka dalam berbagai hal mulai dari akses informasi akses kebijan untuk ikut menentukan kebijakan karena perusahaan-perusahaan besar dalam mendapatkan kredit besar, dia penya kekuatan lobi, kekuatan-kekuatan lobi ini sering tidak dimiliki ole kekuatan-kekuatan bawah.

Yang perlu dibantu adalah akses informasi karena misnya informasi di tingkatan kaum muiskin, kalau arus informasi ini hanya sampai ke pedagang-pedagang besar nantinya pedagang-pedagang besar hanya menjadi broker lagi dengan cara pedagang-pedagang besar menbuat usaha-usaha unit kecil untuk mendapatkan keredit atau fasilitas dari pemerintah tersebut”
Berakibat terjadinya diskriminasi hukum Kemiskinan Struktural ini berakibat terjadinya diskriminasi dalam hal pelayanan hukum, kenyataan sosial inilah yang lebih mengakomodir hadirnya stratifikasi dan diskriminasi dari pada cita-cita egalitaraianisme yang coba direalisasikan dalam kehidupan hukum Setratifikasi dan diskriminasi antarkelas memang mencemaskan mereka yang miskin, tidak berpendidikan dan tak memiliki kekuatan untuk berperan serta dalam percaturan politik hukum guna mengbah nasibnya.

Dapat dimengerti mengapa dalam kenyataan sehari-hari kita melihat bagaimana mereka yang etrpasung didalam setrata bewah akan cenderung menyelesaikan persoalannya lewat caranya sendiri, yang bukan sekali duakalai dengan cara-cara kekerasan daripada cara formal yang ditunjukkan melalui prosedur hukum, ketidak mampuan hukum dalam menyelesaikan problem ketidak adilan tersebut berawal dari kenyataan bahwa hukum dan perundang-undangan ersebut tidak ber oprasi diruang hampa atau diruang Ideal dikarenakan. Hukum dan perundang-undangan itu tidak sekali-kali beroprasi diruang hampa atau ruang Ideal.


Hukum dan perundang-undangan itu dioprasikan oleh suatu Institusi berikut para pejabatnya yang bekerja di tengah suatu lingkungan yang amat dipenuhi oleh fakta kesenjangan, diskriminatif dan resistensi kaum-kaum konserfatif, khususnya yang bersetatus strata atas, yang selalu mencoba mempertahankan posisi kepentingannya yang setatus quo Oleh Soetandoyo Wignjosoebroto dikatakan jika hal tersebut dibiarkan institusi yang disebut hukum itu akan cendrung bercorak tiran, hukum perundang-undangan berikut seluruh perangkat strukturnya, mulai dari yang legislatif sampai yang eksekutif dan yudisial akan lebih fungsional bagi kehidupan kelas atas yang berkuasa, Hukum yang bercorak tiranik seperti itu akan amat dis fungsional bagi kehidupan kelas bawah yang lemah, hukum itu secara teknis akan menjadi ekpoitatif terhadap orang-orang yang miskin dan akan sangat menguntungkan kelas atas saja.


Meneggaapi Permasalahan Kemiskinan Struktural dan akses keadilan bagi kaum miskin tersebut profesor sacdjipto raharjo dengan semangat mengungkapkan kepada reporter keadilan dirumahnya yang cukup asri dan sederhada di samping kampus Universitas Diponegoro Semarang “Justice For All (Persamaan dihadapan hukum) yang berasala dari negara-negara liberal itu memang benar secara idealis, tetapi pertanyaannya apakah benar sudah terjadi Justice For All, dia Amerika itu ada tulisan besar di dinding mahkamah agungnya Equal Justice Under Law tetapi para Advokat Senior yang mempunyai empati mereka tertawa membaca tulisan di gedung mahkamah agung tersebut ‘wesbener ningo hurong bener’ kalau orang jawa mengatakan, itu tidak pernah ada Equal Justice Under Law, lalu para Advokat itu menatakan Equal Justice Under Law itu benar jika diikuti oleh kalimat berikurtnya yaitu Equal Justice Under Law All be can a buy persamaan di depan hukum kepada semua yang bisa membayar, itu tidak hanya terjadi di indonesia si amerikapun terjadi hal yang demikian.


Equalitiy Under The Law itu memang bagus tetapi dalam suasana kemiskinan struktural dan keterbatasan seperti sekarang ini itu tidak dapat berkembang sendiri harus ada tindakan yang khusus untuk memecah setatus quo, bahwa sesungguhnya orang-orang yang tidak punya itu tidak bisa untuk mendapat akses kesitu, harus ada afirmatif action, jadi kalu perlu hukum itu diskriminatif tidak apa-apa, diskriminatif supaya yang tidakpunya ini, yang tidak berpengetahuan ini, juga bisa mendapatkan akses ke pengadilan, dilindungi, di dorong maju, ini jika dilihat dari filsafat liberal itu diskriminatif, kenapa orang yang tidak punya harus dilindungi kira-kira dalam bahasa jawa nek dee kere yo salahe dewe (kalau dia miskin ya salahnya sendiri), disini kita harus melakukan langkah-langkah kongkrit dimana mereka (orang yang tidak mampu) harus mendapatkan akses kepengadilan“
Soetandoyo Wignjosoebroto meneruskan apabila dalam kehidupan masyarakat moderen ini orang tetap hendak mencita-citakan kesamaan derajat dan martabat antar manusia, padahal kesenjangan terjadi karena perbedaan setatus ekonomi antar kelas, maka orang ahrus mau melakukan intervensi dan koreksi terhadap kecendrungan terjadinya kesenjangan dan berbagai tidak diskriminatif, apabila kesenjangan tersebut dibiarkan terus berlangsung secara pasti, pada ahirnya organisasi kehidupan akan terus tersusun atas lapis-lapis sosial yang berbatas tegas, eksklusif, kedab dan diskriminatif Oleh karena itu ada macam langkah kebijakan hukum yang dapat ditempuh disini yaitu yang pertama adalah langkah-langkah yang ditempuh melalui jalur legislatif dan yang kedua adalah melalui jalur yudikatif, apapun langkah yang diambil, keduanya ditempuh atas dasar kebijakan untuk melaksanakan apa yang disebut diskriminasi terbalik atau sering juga disebut diskrimanasi positif.

Dikatakan demikian karena diskriminasi yang diputuskan untuk dilakukan itu, demi hukum, akan diberikan kesempatan atau tambahan hak yang lebih banyak kepada mereka yang ada si setrata bawah dari pada yang ada di setrata atas , yang sudah siuntungkan oleh suatu struktur sosial yang industrial kapitalistik.
Dalam bidang legislatif harus dilakukan denga tidak sekedar emmbentuk undang-undang baru guna memajukan mereka yang ada di kelas atas undang-undang yang di ciptakan harus berdimensi hukum perundang-undangan sosial misal hukum pajak yang membenarkan penarikan pajak secara progresif dan untuk memungkinkan pemerintah membelanjakan dana pubik untuk memberikan subsidi kepada kaum miskin.Sedangakan dalam bidang Yudikatif kita dapat melakukan bantuan hukum yang menyangkut kepentingan publik dan melakukan bantuan hukum cuma-cuma (pro-bono) bagi yang tidak mampu, yang sering juga kita sebut bantuan hukum struktural, yang bertujuan untuk mewujudkan gerakan sadar hak dalam masyarakat.


Reporter : A.Johan.R & Ikhwan

Senin, 12 November 2007

Polisi Razia Notebook Mahasiswa


Terkait penegakan Hukum atas Kekayaan Intelektual (HaKI)

Seorang mahasiswa tampak serius membaca buku Sue Titus Reid, J.D., Ph.D bejudul Criminal Law, sementara di meja terletak buku Black’s Law Dictionary dari Bryan A. Garner. Ditempat lain nampak mahasiswi dengan buku textbook-nya Martin Dixon MA cetakan ulang tahun 1999, tertera Blackstone Press Limited yang berarti buku import.
Setelah diteliti, ternyata mahasiswa tersebut tidak perlu merogoh kocek banyak untuk membeli buku impor itu. Karena buku-buku tadi adalah barang bajakan, mereka cukup membelinya dipasar buku dengan mengeluarkan kas 40% dari harga aslinya. Tidak hanya buku impor saja melainkan buku lokal pun tersedia tiruannya.
Disatu sisi fenomena ini menimbulkan dampak positif seperti: memberikan kesempatan bagi pembaca yang memiliki dana yang sangat terbatas (khususnya pelajar) untuk membaca dan mendapatkan banyak literatur dengan biaya yang lebih murah. Tetapi disisi lain, hal ini akan menimbulkan pelanggaran akan perundangan di Indonesia khususnya dibidang hak cipta.
Hak cipta merupakan isu paling diperhatikan dalam skala internasional dan nasional, Secara internasional, hak cipta merupakan masalah serius untuk diperhatikan terlebih setelah Indonesia meratifikasi Konvensi Bern melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 tentang Konvensi Bern untuk Perlindungan Karya Sastra dan Seni dan ratifikasi Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights Including Trade In Counterfeit Goods (TRIPs) yang merupakan salah satu lampiran pada naskah akhir Putaran Uruguay GATT (General Agreement on Tariff and Trade) melalui Undang Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing The World Trade Organization). Dengan ratifikasi tersebut, Indonesia wajib memberikan perlindungan bagi karya cipta baik dalam maupun luar negeri sesuai dengan perlindungan pada perjanjian internasional
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UUHC 2002) menempatkan buku sebagai salah satu bentuk ciptaan sangat perlu mendapatkan perlindungan hak cipta pada Pasal 12 ayat (1) butir (a) UUHC 2002. Maka hal tersebut, menurut salah seorang pengajar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Budi Agus Riswandi., SH. MHum., bahwa seluruh warga negara wajib menghormati hak moral dan hak ekonomi yang merupakan bagian hak cipta pencipta (dalam hal ini pengarang buku) dari sebuah karya cipta buku.
Yang dimaksud hak moral pencipta pada ciptaan buku adalah hak untuk menjaga integritas buku dari intervensi pihak lain yang dapat merusak kreativitas pencipta (pengarang) buku, sedangkan hak ekonomis adalah hak yang dimiliki pencipta (pengarang) untuk menikmati keuntungan ekonomis dari setiap eksploitasi buku ciptaannya.
Dalam praktek banyak ditemukan pelajar dengan keterbatasan ekonomi untuk membeli buku asli karena harga mahal atau dikarenakan buku itu tidak dicetak lagi, sedangkan kebutuhan akan buku tersebut sangat mendesak, hal ini akhirnya mengambil jalan tempuh dengan cara fotocopy sebagian atau seluruh isi buku tersebut. Bagaimana dengan praktek penggandaan hanya untuk semata-mata kepentingan pribadi dan bukan untuk tujuan komersial? Menurut Budi, bahwa hal itu selama hal itu tidak bertujuan untuk komersial hal tersebut tetap sah kecuali dengan program komputer. Sebagaimana diatur dalam pasal 57 UUHC 2002 yaitu “Hak dari Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak berlaku terhadap Ciptaan yang berada pada pihak yang dengan itikad baik memperoleh Ciptaan tersebut semata-mata untuk keperluan sendiri dan tidak digunakan untuk suatu kegiatan komersial dan/atau kepentingan yang berkaitan dengan kegiatan komersial.”
Menurutnya, bahwa pelanggaran HaKI terhadap buku bajakan ini terletak pada pelanggaran hak ekonomi, dari segi moral pengarang memang tidak dirugikan karena buku tersebut tidak mengalami perubahan apapun dengan tetap mencantumkan identitas pengarang atau penerjemahnya. Tetapi dari segi ekonomi telah dilanggar, karena buku tersebut tidak mendapatkan royalty dari setiap buku yang diterbitkan. Maka status buku tersebut illegal karena dilanggar salah satu haknya.
Fakta tercatat bahwa bagi Amerika Serikat (AS) dan umumnya negara maju, perlindungan HaKI merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi mitra dagangnya. Jika hal ini diabaikan, AS akan menaikkan status negara mitra menjadi Foreign Priority Watch List dan memberikan sanksi dagang. Sanksi ini pernah diberikan kepada Ukraina dengan membatalkan ekspor negara itu ke AS senilai US$75 juta. Minimnya perlindungan HaKI tidak hanya mengancam perdagangan dan iklim investasi nasional
Indonesia saat ini belum lepas dari Priority Watch List oleh US Trade Representative (USTR). Akibatnya, negara terancam akan tindakan retaliation/balasan di bidang ekonomi yang dapat dilakukan oleh pemerintah AS mempergunakan Special 301 yang ada pada United Trade Act. Apabila tindakan pembalasan ini menjadi kenyataan, kondisi perekonomian di Indonesia akan jauh lebih terpuruk. Posisi pertama diduduki oleh China dalam Priority Watch List oleh USTR.
Timbul pertanyaan, apa saja kendala penanganan pelanggaran hak cipta? “Tidak hanya undang-undang tetapi juga dikarenakan oleh kurang tegaknya Law Enforcement sebagai ujung tombaknya aparat kepolisian, serta sadarnya budaya hukum masyarakat yang dinilai masih kurang”, papar Budi.
“Bahwa dalam menegakan HaKI bukan dengan delik aduan tetapi delik biasa, artinya ketika polisi melihat adanya pelanggaran dapat langsung ditindak lanjuti”, tambahnya. Banyak pihak menyimpulkan bahwa Intellectual Property Rights (HaKI) dipandang sebagai produk negara maju yang bersembunyi demi kepentingannya di WTO, namun berbeda apabila kita mengutip situs pikiran-rakyat.com dari Pusat Sumber Daya Informasi (PSDI) ITB Dr. Armein Z.R. Langi, M.Sc., Ph.D.
Menurutnya, pemberlakuan UUHC tidak perlu dilihat sebagai tekanan pihak luar. Peneliti, pendidik, wartawan, dan kalangan profesi lain harus melihat ini sebagai tonggak bersejarah, untuk pertama kalinya Indonesia menganggap informasi ada pemiliknya. Ada pengakuan kekayaan dan nilai ekonomis di balik itu. Meskipun benar bahwa ada tekanan-tekanan internasional dalam pemberlakuan Undang-undang No. 19/2002 tentang Hak Cipta, hal tersebut wajar karena Indonesia ikut dalam WTO.
Ancaman pidana dalam kasus pembajakan hanya berlaku untuk produsen, tetapi tidak untuk pengguna barang bajakan. Kecuali apabila jika karya intelektual yang dibajak tadi digunakan untuk tampilan di muka umum.
Apabila penegakan hukum di Indonesia kuat, tidak menutup kemungkinan jika seorang mahasiswa memegang notebook dan polisi menduga software di dalam notebook tersebut palsu atau hasil bajakan, saat itu polisi bisa langsung melakukan pemeriksaan tanpa pengaduan. Dan bila terbukti barang tersebut akan disita.



RY Achmad – Alif Alfafa