Selasa, 11 Desember 2007

Nasgitel

Di satu waktu, kebetulan saya diajak teman untuk minum kopi di salah satu angkringan kota Yogyakarta, ditengah remang - remang warung angkringan kami menghabiskan waktu sambil meminum kopi nasgitel (panas, legi tor kentel) jika dalam bahasa Indonesia artinya panas, manis dan kental, begitulah orang Jogja mendefinisikan rasa kopi yang mantap.

Dalam Angkringan yang bercahayakan lampu remang - remang bervoltase 5 watt, sepertinya kedua mata saya yang makin redup - remang untuk menjaganya harus dibantu dengan ramuan kopi nasgitel. Teman saya sibuk me-request lagu kepada pengamen jalanan, sedangkan saya mengambil gorengan dan nasi kucing

Kemudian mengalirlah beberapa lagu Campur Sari ciptaan Didi Kempot, dari pengamen yang di request teman saya. Maka lengkap sudah suasana malam tersebut untuk dimulai suatu obrolan hangat, mulai dari obrolan pusingnya membayar biaya kuliah yang melambung tinggi sampai nilai indek prestasi (IP) yang selalu NASAKOM alias nilai satu koma.

Seiring malam yang kian sunyi, semakin pula ngelanturnya obrolan kami, kita mulai nge-gosip kebijakan pemerintah mengenai pengentasan masalah kemiskinan, dimana jumlah kaum miskin di Indonesia semakin lama meningkat, tanpa ada solusi yang bisa menghentikan melonjaknya angka kaum miskin tersebut.

Ditengah asiknya membicarakan bagaimana memberantas angka kemiskinan tersebut, cara konvensional seperti pemberian kredit lunak untuk orang miskin dan perluasan lapangan pekerjaan yang selama ini belum pernah membuahkan hasil, entah pemerintah yang kurang serius menjalankannya atau malah tidak pernah dijalankan. Teman saya berkata “Seharusnya kaum miskin di seluruh Indonesia ini dikumpulkan di satu tempat lalu, lalu di ‘Bom’ maka selesailah masalah angka kemiskinan yang melambung tinggi di Indonesia.

Kemudian saya bertanya kenapa hal tersebut dilakukan ?, sambil menyantap “tempe” teman saya mengatakan “coba kamu pikir bagaimana memperbaiki keadaan negara yang sudah carut-marut dan cacat luar dalam seperti negeri kita ini. Ide kebijakan ekonomi yang terbaik untuk menentaskan kemiskinan di negeri ini akan kandas ditengah jalan, karena rusaknya tatanan politik, ekonomi, budaya dan birokrasi yang akut, kalau kita berbicara bagaimana mengentaskan banyaknya kaum miskin di Indonesia yang hampir menacapai empat puluh persen penduduk indonesia, bagaimanalagi caranya”.

Secara tidak sadar saya melamun dan terbayang, Sejarah gelap manusia, ‘ide gila’ tersebut pernah diakomodir menjadi kebijakan negara dimana ide menganggap manusia yang tidak berguna bagi negara harus dimusnahkan. Hal ini pernah digulirkan oleh rezim Nazi Jerman pimpinan Adolf Hitler. Tak lama setelah Hitler meraih kekuasaan, ia menerapkan kebijakan Eugenics yang berarti “perbaikan” ras manusia dengan membuang orang-orang yang tidak produktif, berpenyakit atau cacat, dan memperbanyak jumlah individu sehat, dimana manusia yang tidak produktif (Tua, Sakit dan Lemah), harus dihabiskan dengan cepat, dengan pembunuhan masal

Entah kenapa saya teringat berita pengusuran kaum miskin yang dilakukan secara paksa oleh aparat keamanan dan ketertiban, dengan mengunakan buldozer beserta alat pemukul, bahkan banyak aparat bersenjata lengkap, dalam siaran televisi tersebut terlihat seorang ibu yang meradang, meraung-raung karena rumah dan kiosnya digusur dan ada anak muda yang dipukuli dan digelandang dengan cara diseret oleh aparat.

Orang miskin dan anak-anak terlantar di negeri ini dianggap sebagai beban dan masalah negara yang jarang sekali mendapatkan perlindungan, bagi para aparatur mereka dianggap sampah masyarakat yang tidak berhak mendapatkan perlindungan hukum beserta hak - hak untuk, mencari nafkah dan mendapatkan tempat tinggal.

Bukankah kerangka berfikir yang demikian sama halnya dengan pemikiran eugenics yang dipopulerkan oleh rezim Adolf Hitler di Jerman, dimana orang-orang yang tidak produktif, cacat dan dianggap tidak berkemampuan tidak layak berada dalam negara dan harus segara dimusnahkan.

Hingga pada suatu waktu kami bertemu lagi ditempat yang sama. Masih diiringi lagu campur sari ciptaan Didi Kempot, sambil “mensruput” kopi saya menanyakan apakah kelak saat negeri ini masih dalam keadaan carut-marut dan angka kemiskinan melambung tinggi kamu masih berpikiran pemerintah harus mengumpulkan orang-orang miskin disuatu tempat dan “membom” mereka hingga habis?.

Kemudian teman saya menjawab “kamu gila! mana mungkin aku masih berpikiran begitu”. Kenapa kamu berubah pikiran? tanya saya. Dia sambil cengar-cengir menjawab dengan santai “Iya jika hal tersebut terjadi, bagaimana bila pada saat itu kita berdua bernasib sial dan jatuh miskin”. Sambil tersenyum simpul saya menyeruput kopi “Sunguh-sunguh nasgitel”.



Oleh : Yansen (PU LPM Keadilan)