Senin, 12 November 2007

Polisi Razia Notebook Mahasiswa


Terkait penegakan Hukum atas Kekayaan Intelektual (HaKI)

Seorang mahasiswa tampak serius membaca buku Sue Titus Reid, J.D., Ph.D bejudul Criminal Law, sementara di meja terletak buku Black’s Law Dictionary dari Bryan A. Garner. Ditempat lain nampak mahasiswi dengan buku textbook-nya Martin Dixon MA cetakan ulang tahun 1999, tertera Blackstone Press Limited yang berarti buku import.
Setelah diteliti, ternyata mahasiswa tersebut tidak perlu merogoh kocek banyak untuk membeli buku impor itu. Karena buku-buku tadi adalah barang bajakan, mereka cukup membelinya dipasar buku dengan mengeluarkan kas 40% dari harga aslinya. Tidak hanya buku impor saja melainkan buku lokal pun tersedia tiruannya.
Disatu sisi fenomena ini menimbulkan dampak positif seperti: memberikan kesempatan bagi pembaca yang memiliki dana yang sangat terbatas (khususnya pelajar) untuk membaca dan mendapatkan banyak literatur dengan biaya yang lebih murah. Tetapi disisi lain, hal ini akan menimbulkan pelanggaran akan perundangan di Indonesia khususnya dibidang hak cipta.
Hak cipta merupakan isu paling diperhatikan dalam skala internasional dan nasional, Secara internasional, hak cipta merupakan masalah serius untuk diperhatikan terlebih setelah Indonesia meratifikasi Konvensi Bern melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 tentang Konvensi Bern untuk Perlindungan Karya Sastra dan Seni dan ratifikasi Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights Including Trade In Counterfeit Goods (TRIPs) yang merupakan salah satu lampiran pada naskah akhir Putaran Uruguay GATT (General Agreement on Tariff and Trade) melalui Undang Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing The World Trade Organization). Dengan ratifikasi tersebut, Indonesia wajib memberikan perlindungan bagi karya cipta baik dalam maupun luar negeri sesuai dengan perlindungan pada perjanjian internasional
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UUHC 2002) menempatkan buku sebagai salah satu bentuk ciptaan sangat perlu mendapatkan perlindungan hak cipta pada Pasal 12 ayat (1) butir (a) UUHC 2002. Maka hal tersebut, menurut salah seorang pengajar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Budi Agus Riswandi., SH. MHum., bahwa seluruh warga negara wajib menghormati hak moral dan hak ekonomi yang merupakan bagian hak cipta pencipta (dalam hal ini pengarang buku) dari sebuah karya cipta buku.
Yang dimaksud hak moral pencipta pada ciptaan buku adalah hak untuk menjaga integritas buku dari intervensi pihak lain yang dapat merusak kreativitas pencipta (pengarang) buku, sedangkan hak ekonomis adalah hak yang dimiliki pencipta (pengarang) untuk menikmati keuntungan ekonomis dari setiap eksploitasi buku ciptaannya.
Dalam praktek banyak ditemukan pelajar dengan keterbatasan ekonomi untuk membeli buku asli karena harga mahal atau dikarenakan buku itu tidak dicetak lagi, sedangkan kebutuhan akan buku tersebut sangat mendesak, hal ini akhirnya mengambil jalan tempuh dengan cara fotocopy sebagian atau seluruh isi buku tersebut. Bagaimana dengan praktek penggandaan hanya untuk semata-mata kepentingan pribadi dan bukan untuk tujuan komersial? Menurut Budi, bahwa hal itu selama hal itu tidak bertujuan untuk komersial hal tersebut tetap sah kecuali dengan program komputer. Sebagaimana diatur dalam pasal 57 UUHC 2002 yaitu “Hak dari Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak berlaku terhadap Ciptaan yang berada pada pihak yang dengan itikad baik memperoleh Ciptaan tersebut semata-mata untuk keperluan sendiri dan tidak digunakan untuk suatu kegiatan komersial dan/atau kepentingan yang berkaitan dengan kegiatan komersial.”
Menurutnya, bahwa pelanggaran HaKI terhadap buku bajakan ini terletak pada pelanggaran hak ekonomi, dari segi moral pengarang memang tidak dirugikan karena buku tersebut tidak mengalami perubahan apapun dengan tetap mencantumkan identitas pengarang atau penerjemahnya. Tetapi dari segi ekonomi telah dilanggar, karena buku tersebut tidak mendapatkan royalty dari setiap buku yang diterbitkan. Maka status buku tersebut illegal karena dilanggar salah satu haknya.
Fakta tercatat bahwa bagi Amerika Serikat (AS) dan umumnya negara maju, perlindungan HaKI merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi mitra dagangnya. Jika hal ini diabaikan, AS akan menaikkan status negara mitra menjadi Foreign Priority Watch List dan memberikan sanksi dagang. Sanksi ini pernah diberikan kepada Ukraina dengan membatalkan ekspor negara itu ke AS senilai US$75 juta. Minimnya perlindungan HaKI tidak hanya mengancam perdagangan dan iklim investasi nasional
Indonesia saat ini belum lepas dari Priority Watch List oleh US Trade Representative (USTR). Akibatnya, negara terancam akan tindakan retaliation/balasan di bidang ekonomi yang dapat dilakukan oleh pemerintah AS mempergunakan Special 301 yang ada pada United Trade Act. Apabila tindakan pembalasan ini menjadi kenyataan, kondisi perekonomian di Indonesia akan jauh lebih terpuruk. Posisi pertama diduduki oleh China dalam Priority Watch List oleh USTR.
Timbul pertanyaan, apa saja kendala penanganan pelanggaran hak cipta? “Tidak hanya undang-undang tetapi juga dikarenakan oleh kurang tegaknya Law Enforcement sebagai ujung tombaknya aparat kepolisian, serta sadarnya budaya hukum masyarakat yang dinilai masih kurang”, papar Budi.
“Bahwa dalam menegakan HaKI bukan dengan delik aduan tetapi delik biasa, artinya ketika polisi melihat adanya pelanggaran dapat langsung ditindak lanjuti”, tambahnya. Banyak pihak menyimpulkan bahwa Intellectual Property Rights (HaKI) dipandang sebagai produk negara maju yang bersembunyi demi kepentingannya di WTO, namun berbeda apabila kita mengutip situs pikiran-rakyat.com dari Pusat Sumber Daya Informasi (PSDI) ITB Dr. Armein Z.R. Langi, M.Sc., Ph.D.
Menurutnya, pemberlakuan UUHC tidak perlu dilihat sebagai tekanan pihak luar. Peneliti, pendidik, wartawan, dan kalangan profesi lain harus melihat ini sebagai tonggak bersejarah, untuk pertama kalinya Indonesia menganggap informasi ada pemiliknya. Ada pengakuan kekayaan dan nilai ekonomis di balik itu. Meskipun benar bahwa ada tekanan-tekanan internasional dalam pemberlakuan Undang-undang No. 19/2002 tentang Hak Cipta, hal tersebut wajar karena Indonesia ikut dalam WTO.
Ancaman pidana dalam kasus pembajakan hanya berlaku untuk produsen, tetapi tidak untuk pengguna barang bajakan. Kecuali apabila jika karya intelektual yang dibajak tadi digunakan untuk tampilan di muka umum.
Apabila penegakan hukum di Indonesia kuat, tidak menutup kemungkinan jika seorang mahasiswa memegang notebook dan polisi menduga software di dalam notebook tersebut palsu atau hasil bajakan, saat itu polisi bisa langsung melakukan pemeriksaan tanpa pengaduan. Dan bila terbukti barang tersebut akan disita.



RY Achmad – Alif Alfafa

1 komentar:

Rule Room mengatakan...

Beware!!!

Di negara maju kata sumber yang terpecaya apabila membawa Laptop dengan Windows bajakan harus dikembalikan ke negara asal...